Pelecehan Agama di Layar Kaca

Oleh : NURUL KIPTIYAH, S.Pd


Bak jamur di musim hujan, bertebarannya tontonan di layar kaca semakin menyuguhkan cerita-cerita yang terkesan di paksakan. Indonesia memang terkenal sering latah dalam mendulang kesuksesan, apalagi di jagad hiburan. Lihat saja ! Setelah kemunculan “Ayat –Ayat Cinta” yang mendobrak kesuksesan yang gemilang dengan menyusul boomingnya novel Ayat-Ayat Cinta Kang Abik tersebut, mulai menyusul film-film berlatarkan Islam dan berkedok religi. Masih bagus jika kehadirannya dapat memberikan angin segar dan inspirasi masyarakat untuk lebih baik dalam arti pada sisi kehidupan religinya, tetapi kenyataannya tontonan tersebut justru memperburuk citra Islam sendiri.

Film “Mengaku Rosul” yang mengkisahkan tentang riwayat penganut ajaran sesat, misalnya. Terlihat sekali sutradara mengambil angle secara sepihak yaitu pada penyesatan dan perilaku penyimpang pengautnya tanpa memberikan pesan yang membangun di akhir ceritanya. Kemudian film “Perempuan Berkalung Sorban” yang baru saja dilounching sudah menuai kontroversi dari salah seorang tokoh ulama. Bahkan sebelum sang tokoh menonton sudah memberi fatwa larangan menonton film tersebut. Langkah sukses layar lebar tersebut ternyata diikuti olea stasiun televisi yang ikut menanyangkan tontonan religi berupa sinetron yang ditayangkan secara monoton ( full 1 minggu penuh).

Sebuah pertanyaan, sebenarnya tayangan sinteron religi tersebut merupakan pengagungan agama ataukah justru penistaan agama. Tetapi tujuan yang pasti tentunya mencari keuntungan dari tingginya rating dan selera pasar dengan memutarnya pada moment yang dianggap tepat. Pada saat Ramadhan misalnya.

Simak saja sinetron Muslimah yang tayang di sebuah stasiun swasta yang tayang sejak ramadhan hingga kini belum juga selesei. Dan tentunya sinetron-sinetron serupa di bulan ramadhan. Apalagi dengan jam tayang yang bersamaan dengan sholat magrib, jelas-jelas ini menggangu muslim yang hendak beribadah. Belum lagi muatan isinya yang selalu menampilkan kelemahan orang sholeh yang seharusnya bisa menjadi kuat dengan keimanannya. Tayangan mistik bertema hantu dan alam gaib yang dapat membuat orang menjadi sulit untuk rasional dan mengarah pada syirik. Belum selesei sinetron itu tayang telah ramai sinetron yang dikonsumsi masyarakat adalah Hareem, yang tampak diadaptasi dari sebuah kisah nyata.

Anggota FPKS DPR Mutamminul Ula meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) segera menghentikan tayangan sinetron Hareem yang nyata-nyata telah melecehkan ajaran agama Islam dan merusak citra Islam. Namun pihak Production Huose ternyata tidak juga menanggapi seruan dari KPI. Lebih parah lagi kehadiran agamawan ( baca:ustadz) diakhir cerita bukan mengajak penonton untuk cerdas dalam menilai cerita tersebut tetapi justru muncuk dengan kutipan –kutipan ayat yang dijadikan pendukung dan pembenar dari perspektif tertentu yang menjadi dasar cerita sinetron. Sebaliknya ayat-ayat yang mementahkan perspektif itu cenderung disimpan. Tetapi tidak semua sintron religi membawa cerita yang tidak berkualiats. Ada juga sinetron religi yang bermuatan dakwah, realistis dan tidak terlalu ekspresionis. Seperti Kiamat Sudah Dekat dan Para Pencari Tuhan. Garapan sineas besar Dedy Mizwar tersebut membuat setting sinetron tidak di buat-buat dan pesan yang disampaikan begitu mengena. Bahkan sinetron ini mandapat apresiasi dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Sayangnya sinetron ini tidak diproduksi panjang. Pengusaha PH dan produser lebih mengutamakan rating daripada kualitas, akibatnya penistaan agamapun tetap dianggap pengaungan agama hanya karena balutan cover, judul, lagu theme song dan kostum pemainnya..

Media kini diyakini telah menggeser paradigma manusia. Dalam hal ini media telah menjadi semacam comtemporary civil religion ( Bellah ; 1967) atau agama sipil komtemporer yang melibatkan bentuk-bentuk pemujaan baru lewat ritual-ritual menonton dan mengkonsumsi media. Persoalannya bukan rahasia lagi bahwa realitas yang dibawa oleh media adalah realitas yang berselimut kepentingan kapitalis indrustialis yang tak berujung pada akumulasi positif semata.

Budaya media dalam hal ini bekerja secara hegemoni untuk mendukung kepentingan para pemilik media. Media makin asyik mengejar kepentingan ekomoni dan cenderung mengesampingkan tanggungjawab sosialnya. KPI sebagai lembaga pemerintahpun tak kuasa dan tak punya gigi untuk menghadapi rezim televisi. Televisi dianggap telah menyebarkan pesan-pesan negatif yang kontroversi dengan kebaikan yang disyiarkan oleh agama. Ada sebuah langkah taktis untuk menempatkan media ( baca:TV) sebagai rival dengan institusi sosial bernama agama. Sehingga memposisikan agama secara vis a vis dengan media dikaitkan dengan polarisasi biner sekuler/amoral ( media) versus sacral/moral ( agama).

Seolah masyarakat lupa bahwa moral adalah tanggungjawab semua individu. Dan kondisi memprihatinkan anak-anak bangsa kita juga bukan hanya kesalahan yang hanya dapat ditimpakan pada media. Kurang proteksi dari lingkungan terutama adalah pendidikan agama akan menjadikan rentannya mental generasi terhadap virus-virus media. Dalam lingkup kecil masyarakat adalah keluarga. Arus informasi bertebaran di depan mata tanpa bisa dibendung. Jika kita berupaya sekuat tenaga untuk memproteksi diri dari arus informasi tersebut maka layaknya kita berusaha untuk tidak bernafas diantara udara yang tercemar. Maka semua akhirnya dikembalikan pada diri kita sendiri dalam hal ini adalah kita sebagai konsumen. Sebuah sikap bijaksana yang harus kita ambil sebagai sebuah konsekwensi bahwa kita hidup di Negara yang telah impotent dalam menyikapi dan menfilter arus budaya yang semakin permisif. Karena jika Negara kita mengharapkan adanya perbaikan mental anak-anak bangsa maka upaya membangun karakter ini haruslah dimulai dengan merubah paradigma masyarakat terutama dari blowup media. Tontonan sinetron-sinetron tersebut ( yang dapat merusak mental anak-anak) lebih banyak ditayangkan pada jam 19.00 malam, dimana pada saat itu anak-anak jelas masih terjaga, Sehingga sekarang ini anak-anaklah yang lebih banyak terkena dampak negative dari tontonan yang layak tersebut.

Di sinilah peran orang tua dalam menemani anak-anak melihat televisi dan dominasi orangtua terhadap remot control televisi di rumah diprlukan sebagai langkah awal melakukan proteksi terhadap anak-anak bangsa. Kesadaran individu akan melahirkan kesadaran sosial, artinya jika sinetron-sinetron tersebut hanya mengejar rating, hal itu sebenarnya adalah tergantung pada ketertarikan konsumennya terhadap tayangan tersebut. Jika penonton masih betah menonton dan maka PH akan memperpanjang ceritanya agar penonton penasaran, tetapi jika penonton telah bosan maka sinetron itu akan selesei dengan sendirinya. Disinilah sebenarnya keputusan tayang atau tidaknya sinema tersebut tergantung kita sebagai penonton.

Disisi lain peran institusi sosial yaitu agama agar dapat mencerna dan memaknai realitas media secara lebih cerdas. Bukan hanya menjudgetifikasi produk anak bangsa dan melonching fatwa-fatwa “haram” yang terkadang membingungkan umat. Budaya memang harus dilawan dengan budaya.

Agar langkah ini dapat menjadi bagian dakwah secara kultural dalam perbaikan mental umat hendaknya untuk para sineas muslim khususnya, agar berupaya menciptakan kreasi seninya yang dapat mengangkat nilai-nilai religi yang sarat pesan moral bukan hanya mengumbar ajaran agama untuk mempermanis sinema saja. Atau menggunakan cover agama sebagai kostum untuk memikat pasar.

( Penulis adalah salah satu akfitis FLP Blitar dan Alumi HMI Badko Jawa Timur)

0 komentar:

Posting Komentar